CAFE BUDAYA GEMA FAJAR

Minggu, 15 Mei 2016

EKSPRESI KEPEDULIAN JALALUDDIN RUMI TERHADAP BIODIVERSITAS DALAM SYAIR MATSNAVI

      Marak para peneliti yang membahas syair Jalaluddin Rumi (1207—1273) dari berbagai perspektif. Seolah, syair Rumi merupakan oase bagi orang-orang yang haus akan kekayaan makna dan keluasan tema yang termaktub dalam syair Matsnavi. Menurut Nur Jabir, salah satu hal yang menarik dalam pemikiran Rumi adalah sistem filsafatnya yang disebut dengan sebuah “sistem filsafat terbuka.”
      Maksud dari sistem filsafat terbuka ialah tidak membatasi subjek besar filsafat yang kerap menjadi titik perbalahan para filsuf, yakni Tuhan dan hakikat alam. Alam bergantung secara totalitas kepada Tuhan. Maka, karena Tuhan itu tak terbatas, ciptaan-Nya pun juga tak terbatas. Kita sering menganggap alam ini terbatas di kala kita membandingkan alam dengan Tuhan. Sehingga, kita menyimpulkan bahwa Tuhan tak terbatas sedangkan alam terbatas. Padahal, tak satupun manusia yang dapat mengetahui bentuk akhir dari alam raya, sehingga pandangan para filsuf terdahulu ihwal realitas eksternal adalah definisi realitas menurutnya sendiri.
     Untuk mengurai hakikat alam raya, Mulla Sadra menggunakan pendekatan filsafat Hikmah Muta’aliyah melalui kemendasaran wujud (ashalat al-wujud), gradasi wujud, (tasykik al-wujud), dan gerak substansial (harakah al-jauhariyah). Atau, Ibn ‘Arabi misalnya, yang seluruh bahasannya diselesaikan dengan wahdat al-wujud dan konsep manifestasi (tajalli). Artinya, persoalan filsafat seakan tak dapat diselesaikan kecuali dengan pendekatan filsafat yang mereka bangun. Dengan demikian, sistem filsafat tersebut merupakan sistem filsafat tertutup.
       Berbeda halnya dengan Rumi. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa filsafat terbuka Rumi ialah ketidakterbatasan Tuhan dan ketidakterbatasan alam. Oleh sebab itu, dalam syair-syair Rumi kita dapat menemukan berbagai pendekatan dalam menginterpretasikan realitas. Artinya, kita takkan menemukan suatu sistem yang tetap dan baku dalam syair Rumi. Misalnya, untuk menjawab problem pemanasan global dan efeknya yang kini menjadi isu hangat di antero dunia dapat kita temukan dalam syair Rumi. Hal tersebut, dapat dilihat sebagai kepedulian Rumi terhadap biodeversitas.
       Biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan prinsip utama dari bahasan ilmu Ekologi. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834—1914) yang diartikan sebagai ilmu yang memelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. “Ekologi” berasal dari kata Yunani “oikos” yang berarti “habitat” dan “logos” yang berarti “ilmu”. Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
      Para pakar ekologi, salah satunya memelajari terjadinya hubungan/interaksi antarspesies makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Sementara itu, dalam perpektif ekologi bahasa, kemampuan seseorang menggunakan sistem bahasa merupakan hasil pendalamannya terhadap lingkungan dan komunitas atau masyarakat sekitarnya. Setiap individu yang terlahir ataupun berada dalam  suatu  masyarakat, akan memelajari sistem yang berkembang di masyarakat tersebut dan mengadaptasinya. Dalam konteks ini, interaksi Rumi dengan alam, lingkungan, dan masyarakatnya diekspresikan lewat syair-syairnya yang terkenal dengan judul Matsnavi. Kepeduliannya terhadap biodiversitas dapat dilihat dalam penggalan syairnya berikut.

When the rose has faded and the garden is withered,
The song of nightingale is no longer to be heard. (Rumi, 2001: 5)
(Ketika mawar hilang dan kebun bunga lenyap dan pergi,
Maka nyanyian burung-burung pun takkan terdengar lagi)
     Cukup dengan dua baris syair tersebut, para pembacanya diajak merenungi alam. Eksploitasi alam yang membabi-buta demi keuntungan material telah membuat manusia terasing dengan lingkungannya. Kegelisahan Rumi akan lenyapnya kebun mawar berakibat pada keharmonisan habitat yang mengikutinya (nyanyian burung takkan terdengar lagi).
      Ketika dewasa ini para organisasi dan lembaga swadaya meneriakkan keselamatan bumi, maka Rumi sudah lebih dari 700 tahun lalu menyuarakan, “Selamatkan bumi dengan hati nurani.”

Bandung, 14 Mei 2016

Rujukan

Rumi, Maulana Jalaluddin. 2001. Masnavi i Ma’navi: Teachings of Rumi, The Spiritual Couplets of Maulana Jalaluddin Muhammad i Rumi (transl. by: E.H. Whinfield, M.A.). Iowa: Omphaloskepsis.



Jumat, 13 Mei 2016

ANTARA ESTETIKA MUSIK, SAINS, DAN TOLERANSI BERAGAMA: DARI AL-FARABI HINGGA JOHANNES KEPLER

Prolog
Pernahkah kita merenungi, bahwa tanpa sadar kebebasan kita mungkin disekat oleh berbagai informasi (apapun itu) yang kita pegang sebagai keyakinan. Karena kita anggap sebagai keyakinan, kemudian informasi tersebut menjelma menjadi mindset, dan karena diyakini sebagai mindset akhirnya dianggap sebagai bagian dari hidupnya. William James berkata, bahwa pandangan kita tentang dunia tergantung pada apa yang kita putuskan untuk kita dengar. Sehingga, ketika ada informasi baru yang datang (kendati informasi baru itu mungkin lebih benar) ia akan merasa eksistensi dirinya tengah terancam. Keputusan untuk tidak mau terbuka terhadap informasi atau pendapat orang lain ini, pada puncaknya berujung pada sikap intoleran dan menganggap bahwa “tiada kebenaran lain selain kebenaran yang aku pegang ini.” Menurut Psikolog-Sosial Perancis, Gustave Le Bon, hal tersebut terdapat pada sikap sebagian banyak orang.
Sebetulnya, sikap intoleran bukanlah aktivitas intelektual, tetapi luapan sikap emosional. Aktivitas emosional didasari dengan sejumlah sifat ke-Aku-an yang megah, sehingga cenderung memandang bahwa kebenaran yang dipegangnya adalah kebenaran absolut. Karena ia bersifat emosional maka ia memerlukan semacam terapi jiwa yang mampu meluluhkan kesombongan ego. Untuk memberikan solusi, sebetulnya orang hanya cukup dengan berpikir dan berjiwa bijak. Namun, untuk mengaktualisasikan potensi kebijaksanaan yang terpendam dalam diri adakalanya seseorang membutuhkan cara pandang. Sudah sejak ratusan tahun, filsafat menawarkan jalan estetika dalam kaitannya dengan emosi. Sebab, estetika menyentuh persoalan rasa dan penilaian baik-buruk karena ia berkaitan erat dengan keindahan.
Lalu, kenapa harus estetika? Sebab, fakta di luar tak dapat dimungkiri bahwa jarang orang yang menyentuh (atau bahkan tak menyadari) aspek keindahan. Padahal, antara benar, baik, dan indah itu berbeda tipis. Misal, pernikahan antara laki-laki dan perempuan dapat dikatakan sebagai kebenaran. Bila pernikahannya dihiasi dengan kemesraan budaya (pertunjukkan seni/budaya lokal) maka menjadi indah. Lalu, apabila terjadi konflik antar-keluarga (baik perbedaan pendapat atau keyakinan) namun ia tetap menjalin silaturahim kekerabatan, berarti tindakannya dapat disebut sebagai kemuliaan sekaligus baik. Suatu kebenaran takkan lengkap tanpa estetika, dan estetika akan sempurna bila dihiasi kemuliaan (wisdom). Dengan demikian, estetika tidak hanya aksesoris semata melainkan dasar pandangan hidup yang memberikan efek pada gejala fisik dan kejiwaan seseorang. Minimal, dengannya seseorang dapat menyelaraskan antara pikiran dan tindakannya, sehingga ia berlaku imbang dan harmonis.
Secara etimologi, estetika diambil dari bahasa Yunani, aisthetike yang berarti segala sesuatu yang dicerap oleh indera. Sebagai salah satu cabang filsafat, estetika pada dasarnya merupakan ilmu yang membahas keindahan, yang meliputi uraian ihwal bagaimana keindahan dapat terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakan dan memberikan penilaian terhadapnya. Dalam konteks rasa, estetika kerap digadang-gadang sebagai unsur yang bernilai filosofis terkait dengan aspek-aspek sensoris, yakni olah batin melalui persepsi emosi-sentimental. Pada turunannya, estetika merupakan cabang filsafat aksiologi yang sering diasosiasikan dengan kesenian. Karena turunan dari aksiologi, maka estetika membicarakan penilaian baik-buruk atau indah-jelek. Inilah yang membedakannya dengan epistemologi yang membahas seputar benar-salah.
Estetika bukanlah “barang baru” dalam pembahasan filsafat. Pasalnya, estetika bertalian erat dengan aspek seni. Pada 500—300 Sebelum Masehi, konsep estetika dan seni dapat kita rujuk pada pemikiran para filsuf Yunani kaliber Socrates, Plato, dan Aristoteles yang masing-masing membicarakan seni dalam kaitannya dengan konsep filsafat. Karena estetika bertalian dengan keindahan, maka pembahasannya dihubungkan dengan seni. Pengetahuan ini juga disebut dengan filsafat keindahan, termasuk di dalamnya keindahan alam yang seringkali diwujudkan dalam keindahan karya seni (Sumardjo, 2000: 24).
Itulah mengapa ketika menyinggung ihwal seni Plato berkata, “Ars imitatur naturam”—seni adalah mimesis/tiruan alam. Menurutnya, karya seni hanya dapat meniru kenyataan, sebab mengandung konsekuensi logis: bahwa karya seni adalah bagian dari kenyataan! Yakni, semua keindahan di dunia ini merupakan imitasi, penghayatan, atau peniruan yang diabstraksi (baca: ditarik dari) alam. Mimesis merupakan sebuah daya representasi yang timbul sebagai akibat kesempurnaan karya sehingga muncul kegairahan baik bagi yang menciptakan maupun yang menikmati.
Kegairahan tersebut, berupa potensi pelbagai macam perasaan yang dihasilkan melalui situasi atau kondisi tertentu. Maka, ketika raga (melalui alat pancaindra) mempersepsi suatu kondisi, saat itu pula jiwa mengalami suatu rasa yang efeknya nampak pada gejala-gejala. Gejala ini terbagi dua, yaitu gejala fisik dan gejala batin. Pada gejala fisik, perasaan bahagia misalnya, berefek pada seseorang untuk tersenyum. Perasaan sedih berefek pada seseorang untuk menangis. Perasaan marah berefek pada raut wajah atau nada suara seseorang. Sedangkan gejala batin, seperti perasaan cinta yang berefek pada rasa kagum berbunga-bunga (catatan: apakah bila seseorang merasakan jatuh cinta lantas kata-kata masih diperlukan?), atau ketika melihat suatu pemandangan indah, kita pun merasa takjub. Nah, perasaan-perasaan tersebut, kiranya sering dicurahkan dalam luapan ekspresi artistik.
Sebagai contoh adalah seni musik yang sangat akrab dengan masyarakat kita. Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gelisah, sebab ia mempunyai terapi penghibur dan menumbuhkan semangat bagi jiwa. Musik memiliki fungsi dan tidak sekadar hiburan “pembunuh jenuh di kala sepi”. Senada dengan Aristoteles, dikatakan al-Farabi (870—950) bahwa musik menimbulkan efek terapi bagi jiwa. Al-Farabi menandaskan bahwa suara binatang mengekspresikan emosi mereka baik dalam kegembiraan maupun kesedihan. Sementara itu, suara manusia, dengan intensitas yang lebih besar mengungkapkan perasaan yang lebih beragam.
Dengan keberagaman ekspresi manusia, al-Farabi dipercaya sebagai pemusik ulung yang mampu membuat orang tertawa, menangis, bahkan tertidur tatkala ia tengah memainkan musik. Uraiannya ihwal musik yang termaktub dalam Kitab al-musiqi al-Kabir itu seharusnya terdiri dari dua jilid buku. Namun, jilid kedua yang dimaksudkan sebagai komentar pada karya-karya penulis sebelumnya telah hilang dan mungkin tidak pernah selesai. Sebagian ahli sejarah lainnya berpendapat bahwa kitabnya tentang musik dianggap menyimpang dan berbahaya sehingga kemudian dibakar habis.
Kendati demikian, secara umum aturan konvensional menyepakati bahwa teori musik paling tidak terdiri dari unsur suara, harmoni, notasi ritme, dan nada. Lantas, apa relasi antara alam dengan harmoni dalam musik? Bila ada relasinya, maka bagaimanakah musik yang diproduksi berdasarkan perenungan terhadap alam itu? Lalu, apa kaitan antara musik, alam semesta, dan manusia?

Musik Alam Semesta
Dalam magnum opusnya yang berjudul Harmonices Mundi (1619), seorang astronom terkemuka, yakni Johannes Kepler (1571–1630), telah menemukan suatu hubungan antara kecepatan planet-planet mengorbit dan harmoni musik. Dengan kata lain, ia berhasil menemukan pola musik melalui pengamatannya terhadap keteraturan benda-benda langit. Dalam Hukum Ketiganya, Kepler menghitung tangga nada musik dari kecepatan planet pada titik terdekat (perihelion) dan titik terjauh dari matahari (Aphelion) yang berefek pada naik-turunnya suara (bandingkan: Magee, 2008: 66). Menurutnya, planet yang terletak jauh dari matahari memiliki perioda orbit yang lebih panjang dari planet yang dekat jaraknya dari matahari (perioda kuadrat suatu planet berbanding dengan pangkat tiga jarak rata-ratanya dari Matahari—Kepler).
Konsep dasar dari karyanya itu, didasarkan pada Alkitab yang berbunyi:

In principio creavit Deus caelum et terram.” (Genesis 1:1)
(Artinya: “Pada mulanya, Allah menciptakan langit dan bumi”)

Bumi bukanlah berasal dari sesuatu yang acak (random), tetapi dari Tuhan sendiri yang menciptakan dengan keteraturan dan keharmonisan. Ketika Tuhan menciptakan jagat raya, blueprint alam semesta sudah ada dalam pengetahuan diri-Nya. Gerak planet-planet yang tersusun secara harmonis tersebut, membuktikan adanya “Pengatur Alam Semesta” yang tak terindrawi dengan mata telanjang. Ungkap Kepler, bahwa Tuhan menciptakan dunia dalam keharmonisan melalui sejumlah model geometri yang tergambar di dunia eksternal. Model geometri yang terbentuk dari harmoni tersebut mewujud dalam pola-pola musik. Dalam hal ini, Kepler meyakini bahwa planet-planet dapat menghasilkan harmoni enam suara. Gambar berikut merupakan kutipan dari karyanya yang berjudul Harmonices Mundi (1619: 207) yang ditulisnya saat bermukim di Lincii (Linz), Austria.



Gambar: Temuan Kepler, tangga nada musik dari kecepatan planet pada titik terdekat dan terjauh dari matahari yang membentuk adanya harmoni dan keselarasan.

Keterangan gambar:

1.       Marsfere (notasi nada planet Mars): mengeluarkan nada tenor;
2.       Venus & Terra (notasi nada Venus dan Bumi): mengeluarkan nada alto;
3.       Hicloeum habetetiam (notasi nada bulan);
4.       Saturnus & Jupiter (notasi nada Saturnus dan Jupiter) mengeluarkan nada bass;
      5.     Mercurius (notasi nada Merkurius): mengeluarkan nada sopran.

Catatan: Merkurius, dengan orbit elips yang besar, mendapat jatah terbesar dari catatan notasi nada. Sementara Venus, menurut Kepler, ditemukan hanya mampu mendapatkan sedikit karena orbitnya hampir lingkaran.

Venus ferè manet in unifono non æquans tenſionis amplitudinevel minimum ex concinnis intervallis.
Atquiſignatura duarum in communi Syſtemate Clavium....” (Keppleri, 1619 [Anno M. DC. XIX]: 207)

Menurut Kepler, setiap planet "bernyanyi" dengan notasi nada berbeda-beda tergantung pada variasi kecepatan masing-masing. Merkurius dengan orbit unik yang paling cepat, memiliki jangkauan paling tinggi dan besar. Sehingga, dalam tangga nada ia mendominasi notasi (lihat gambar di atas). Namun, perlu dicatat bahwa gerakan ketika turun tidaklah lebih cepat daripada naik (tidak seperti jalan menuruni gunung seusai mendaki). Penggambaran di atas, seperti diungkap Coelho (1992: 61), “is simply the result of the crowding” untuk memungkinkan posisi bulan di sebelah kanan (Hicloeum habetetiam).
Kepler mengemukakan bahwa perbedaan antara maksimum dan minimum kecepatan sudut dari planet dalam orbitnya mendekati proporsi yang harmonis. Misalnya, kecepatan sudut maksimum Bumi yang diukur dari Matahari bervariasi oleh semitone (dengan rasio 16:15), yakni dari nada mi ke fa, di antara Aphelion dan Perihelion. Sedangkan Venus hanya bervariasi dengan rasio 25:24 (mengalami diesis dalam terminologi musik).
Kepler berkata (mungkin setengah bergurau?) bahwa bumi “bernyanyi” dengan gerakan berputar dan mengeluarkan bunyi mi, fa, mi. Tak hanya itu, menurut Kepler planet Mars, Saturnus, Jupiter, Merkurius, Venus, dan Bumi merupakan kelompok paduan suara surgawi di mana dapat menimbulkan bunyi yang serempak dengan notasi berbeda. Itulah kenapa tarian para komunitas sufi-darwis (whirling dance) mengambil gerakan berputar yang melambangkan planet-planet yang mengelilingi garis edarnya masing-masing. Jadi, planet-planet tidak hanya bernyanyi tetapi juga menari dengan berputar (seolah ber-thawaf) mengelilingi sumber cahaya, yaitu Matahari. Meskipun demikian, menurut Kepler sangat jarang seluruh planet bernyanyi secara bersamaan dalam kerukunan yang sempurna. Akan tetapi, menurutnya hal tersebut mungkin terjadi hanya sekali dalam sejarah, yakni pada saat momentum penciptaan.
Kepler mengingatkan kita bahwa hasil temuannya itu merupakan produk manusia, tetapi didasarkan pada perenungan terhadap keselarasan benda-benda langit.  Namun demikian, Kepler telah berhasil mengawinkan seni, astrologi, dan sains. Dalam artikelnya yang berjudul Kepler and Kircher on the Harmony of the Spheres, Joscelyn Godwin menyatakan bahwa temuan Keppler mengenai Harmoni Dunia atau Harmoni Bola (The Harmony of the Spheres) merupakan lintas-ilmu yang menggabungkan antara kosmologi, astronomi, matematika, dan teori musik demi menemukan notasi nada berdasarkan gerakan planet-planet seperti dalam gambar di atas. Mungkin tidaklah berlebihan bila filsuf Arthur Schopenhauer berkata bahwa musik adalah melodi yang syairnya adalah alam semesta. Maka, tidaklah mengherankan ada sebagian ilmuwan yang menyatakan bahwa musik merupakan salah satu cabang sains. Berikut ini adalah komentar Godwin atas Harmoni Dunia (2007):

The Harmony of the Spheres, a transdisciplinary idea that unites cosmology, astronomy, mathematics, and music theory, has been a major vehicle of the Pythagorean current in the intellectual history of the West. This article focuses on two figures who contributed largely to it in the early phase of the Scientific Revolution. By learning and inclination, both had come under Neoplatonic and Hermetic influences; both were adherents of that stream of Christian esotericism that sought a deeper understanding of the created world. But as we shall see, their attitudes to celestial harmonies were in stark contrast to one another.
Selanjutnya, hal yang perlu digarisbawahi adalah penggunaan istilah “harmoni” itu tidak sepenuhnya mengacu pada definisi musik. Lebih dari itu, pengertian harmoni di sini mencakup keselarasan jagat raya dan cara kerja benda langit dan bumi. Kepler mengemukakan bahwa harmoni musik merupakan produk manusia yang berasal dari sudut. Hal ini berbeda dengan harmoni yang ia sebut sebagai menjadi fenomena yang berinteraksi dengan jiwa manusia. Beranjak dari konteks ini, Kepler mengklaim bahwa bumi memiliki jiwa karena memiliki harmoni astrologi (lihat: Field, 1984: 207—219). Hal tersebut senada dengan al-Farabi dalam teori emanasinya, yang juga menganggap bahwa setiap planet memiliki jiwa. Menurut al-Farabi, setiap sphere mempunyai bentuk sendiri, yaitu ruhnya (al-ruh/soul).
Mengingat keduanya mendapat pengaruh dari paham Plotinus, namun perbedaannya terletak pada uraian al-Farabi dalam konteks penciptaan (creation) yang dijabarkannya melalui teori emanasi (al-Faydh). Dasar permasalahan yang diangkat adalah, bagaimana alam yang beragam (banyak) itu bersumber dari Sebab Yang Satu. Menurut teori emanasi al-Farabi, disebutkan bahwa Tuhan itu Esa. Oleh karena Dia Esa, maka yang keluar daripada-Nya juga hanya satu wujud, karena emanasi itu timbul karena pengetahuan (baca: ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang satu. Dan karena Dia Esa, maka tidak dapat didefinisikan. Sebab, menurut al-Farabi definisi hanya akan menisbatkan batasan dan susunan kepada Tuhan dan itu mustahil bagi-Nya. Tuhan itu azali, yakni Akal Murni yang berpikir dan dipikirkan. Ia adalah ‘aql, ‘aqil, dan sekaligus ma’qul. Lantaran pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang mahadahsyat, maka daya tersebut menciptakan sesuatu. Dan cara Tuhan menciptakan alam semesta adalah dengan ber-ta’aqqul terhadap zat-Nya sendiri (Zar, 2004: 73—75).
Adapun wujud pertama yang keluar dari pemikiran Tuhan tentang diri-Nya disebut Akal Pertama. Jadi,dari Yang Mahaesa menciptakan yang esa pula di mana Akal Pertama ini mengandung dua segi: (1) segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu wujud yang mumkin, dan (2) wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai zat yang menjadikannya. Dengan demikian, sekalipun Akal Pertama tersebut satu (esa), namun pada dirinya terdapat dua aspek tersebut. Dengan adanya aspek ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.
Lebih lanjut, dalam buku yang berjudul Jalan Pencerahan Mencari Tuhan, Hadi Masruri (2005: 57) mengutip Ibn Thufayl mengenai emanasi:

“Perumpamaan emanasi cahaya Tuhan pada alam semesta adalah seperti cahaya matahari pada cermin yang terjadi secara terus-menerus. Dari cermin ini, cahaya matahari dipancarkan ke cermin yang lain, dan dari cermin yang lain itu, cahaya matahari dipancarkan lagi ke cermin yang lain, dan begitu seterusnya, sehingga sinar matahari itu tampak ada di mana-mana. Setiap refleksi dari sinar itu kemudian memunculkan satu kosmos, sehingga mewujudkan keanekaragaman alam semesta. Tetapi, semua sinar itu bukanlah matahari ataupun cermin itu sendiri, bukan pula sesuatu yang lain dari matahari dan cermin. Keanekaragaman itu akan hilang dan menyatu dengan matahari apabila ia dipandang sebagai sumber cahaya, namun keanekaragaman itu akan muncul kembali jika dipandang sebagai cermin, di mana cahaya matahari dipantulkan olehnya.”
Tabel berikut merupakan ilustrasi emanasi al-Farabi:
Subjek (Akal)
Berpikir Tentang:
Wajib al-Wujud
dirinya sendiri
Akal I/
AKAL MURNI
menghasilkan akal II
Langit pertama (as-sama al-ula atau al-falak al-a’la)
beserta jiwanya
Akal II
menghasilkan akal III
Bintang-bintang tetap
(al-Kawakib al-tsabitah/fixed stars)
Akal III
menghasilkan akal IV
Planet Saturnus (Zuhal) beserta jiwanya
Akal IV
menghasilkan akal V
Planet Jupiter (al-Musytari) beserta jiwanya
Akal V
menghasilkan akal VI
Planet Mars (Marikh) beserta jiwanya
Akal VI
menghasilkan akal VII
Matahari (al-Syams) beserta jiwanya
Akal VII
menghasilkan akal VIII
Planet Venus (al-Zuhrah) juga beserta jiwanya
Akal VIII
menghasilkan akal IX
Planet Merkurius (‘Utharid) beserta jiwanya
Akal IX
menghasilkan akal X
Bulan (Qamar) beserta jiwanya
Akal X

Bumi (Ardh), manusia (insan), Materi bagi empat unsur:
tanah, udara, api, air.
Catatan: masing-masing Akal bertugas untuk mengatur satu planet. Akal tersebut merupakan substansi non-materi, yang sering dinisbatkan kepada malaikat. Maka, planet-planet tersebut diatur oleh para malaikat. Setiap lingkungan mempunyai akal (malaikat) dan jiwa yang nonmateri dan merupakan sumber gerak mereka masing-masing. Jiwa merupakan penggerak lingkungan, sehingga planet-planet berputar pada sumbunya dan berkeliling. Tetapi, mereka memperoleh kekuatan dan daya-dayanya dari Akal, bergerak sesuai dengan kehendak Akal, dan menuju penyempurnaan dengan menggerakkan lingkungannya.
Secara rinci, teori emanasi al-Farabi dapat diringkas dalam hierarki wujud berikut:
1. Tuhan yang merupakan Sumber Segala Sebab bagi keberadaan wujud-wujud lainnya;
2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang non-materi;
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial); dan
                4. Benda-benda bumi (teresterial).

Intoleransi dan Takfiri di Abad Kegelapan
Sebagaimana kasus al-Farabi, pandangan Kepler yang progresif tentang Harmoni Dunia itu mendapat tentangan keras dari pihak yang menganggap bahwa pemikiran Kepler tidak sejalan dengan norma-norma agama yang mereka yakini dan cenderung menyimpang. Karena dianggap menyimpang, maka pandangannya dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi pemegang otoritas keagamaan. Sebab, saat Kepler tengah merumuskan hukum-hukum dalam Harmonices Mundi perang agama antarmazhab Kristen meletus dan berlangsung selama 30 tahun (1614—1644). Perang yang dilancarkan oleh Ferdinand dari dinasti Katolik Besar Hapsburg itu, bertujuan untuk menegakkan kembali supremasi Katolik di Eropa. Dalam periode ini, lima dari enam kota dan desa di Jerman telah dihancurkan dan penduduknya mengalami pengurangan populasi dari sembilan juta jiwa menjadi empat juta jiwa (Black, 2015: 453). Penyiksaan, pengkafiran, dan pembantaian massal yang berakar dari kefanatikan telah mewarnai Eropa kala itu.
Sebagai pengikut Lutheran, Kepler mengalami penganiayaan dan prasangka agama yang berujung pada penyesatan dan pengkafiran atas dirinya. Ia dipaksa keluar dari Graz, yang membuatnya kehilangan segala sesuatu dan mengalami kesulitan hidup lantaran menolak untuk menganut Katolik Roma. Popularitas Kepler sebagai ilmuwan setidaknya telah menjadi penolong. Walaupun demikian, Kepler kerap dibujuk untuk pindah agama dengan dalih “mengajak kembali ke jalan yang lurus”. Bagi Kepler, intoleransi keagamaan sangat memuakkan, di mana melalui sains ia yakin bahwa keharmonisan dan tersusunnya notasi musik di antara planet-planet seharusnya berlaku juga keharmonisan di tengah-tengah umat manusia. Sekalipun demikian, ia tetap berpegang pada keyakinannya dan rela menderita. Berikut kutipan dari ungkapan keluh kesahnya yang dinukil dari Ernst Zinner:

Suffering along with many brothers for the sake of religion and for the glory of Christ by enduring harm and disgrace, by leaving one’s house, fields, friends, and home—I would never have believed all of this could be so agreeable,”
Begitulah seseorang yang memegang iman berdasarkan kepercayaan aksiomatis, bukan dengan keimanan dogmatis. Ia tangguh menghadapi bahaya, teror, pengusiran dari kampung halaman, bahkan kehilangan harta-benda. Namun, harta benda sejati baginya adalah ilmu dan pengetahuan yang memberikannya harta berupa esensi “rahasia-semesta”. Karya-karyanya dianggap membawa kesesatan dan dicap stigma hitam. Meskipun begitu, kurang lebih 70 tahun kemudian uraian hukum-hukum Kepler tersebut kelak dianggap sebagai dasar bagi Isaac Newton (1643—1727) dalam mengembangkan teori Gerak dan Gravitasi Universalnya yang terkenal itu.

Epilog 
Sebagai catatan terakhir, untuk menghayati dan meresapi musik, seseorang tidaklah dituntut untuk memahami teori musik terlebih dahulu. Sebab, keindahan suatu musik bersifat aktual karena adanya gerak dan aksi yang terpadu dengan harmoni, nada-nada, dan unsur-unsur lainnya. Di samping itu, musik akan merasuki jiwa dan meninggalkan kesan sehingga menciptakan emosi batin. Maka, tak dapat dimungkiri mengapa sebagian banyak orang sangat mencintai dan menggemari seni musik. Sebab, musik itu sendiri merupakan manifestasi dari sifat keindahan. Dan kekaguman terhadap keindahan merupakan fitrah bawaan yang dimiliki setiap manusia.
Relasi antara musik dan sains mengalami perkembangan di Barat (Pasca-Renaissance), sehingga melahirkan musisi kaliber Mozart, Beethoven, Vivaldi, Bach, Wagner, dan Chopin. Sedangkan relasi antara musik, alam, dan manusia yaitu sama-sama berpotensi untuk membangun harmoni, sebagaimana harmoninya susunan planet-planet: tidak bertabrakan, tidak berbenturan, tidak saling merusak, tidak jelimpat jalur, dan tidak menimbulkan kekacauan (chaos). Maka, sudah seyogyanya kita mengisi zaman dengan estetika, sehingga kita mampu melihat sisi keindahan dari setiap perbedaan.
Terakhir, sebagai manifestasi keindahan, berikut ini saya kutip sebuah syair pribadi yang mungkin representatif untuk pembahasan ini:

ANOMALI
Di padang bulan mereka terlunta mencari cahaya
dan masih menduga bumilah pusat semesta
barangkali ada yang menemukan lintasan lain
digetar medan magnet dari langit bertanda asing
namun, katanya, ucapan ilmuwan bagai air liur keluar menghambur
yang telah mendustakan Kitab Suci dan ayat-ayat Mazmur

Tapi sains dimulai tatkala bintang-bintang telah menanggalkan baju
dan Alpha Centauri menyumbat ventilasi lorong waktu
saat itu planet Jupiter melantunkan irama musik kudus
yang membelai dan membisik rindu pada Copernicus
di antara malam buta ia baca gerak planet yang anggun
ronanya membuat mata batin tersihir dan tertegun
perlahan segala macam asteroid telah terangkum
hingga Tyco Brahe mendengkur di observatorium
di sana ada suara benda-benda bergesekan menimbulkan echo
seperti riuh orang-orang di pengadilan Galileo

Semula kain hitam menghijab seluruh pancaindera
orang-orang dipaksa hidup bertualang di lembah gulita
sambil mendamba cahaya demi mencecap buaian manis tentang surga
dan firman yang diobral para pendusta, hanya memuat cahaya redup sia-sia.
Padahal, Adam pun telah dibina sejak diciptakan kali pertama
jauh sebelum ia dan istrinya memasuki ladang kebun tak bernama:
mahir mengurai segala rahasia di jagat bumi
walau setitik atom sembunyi di bawah hamparan permadani
andai dapat kuhimpun belantara ilmunya yang rimbun
rongga dada yang daif ini takkan pernah sanggup menampung

Di zaman yang diliputi malam berkepanjangan,
dibutuhkan pelita kata yang berpijar terang
agar sains dapat menerjemahkan simbol yang masih remang
mungkin pelita itu akan menjadi seorang santo
yang membebaskan para arif dari guanya Plato
setelah lama dikutuk dan terbelenggu dijajah waktu
dirantai dongeng-dongeng dan mitos purba dari zaman batu
selebihnya akan kupupuk fitrah ilmu yang murni
demi menyemai erang bunga musim semi

(23—24 April 2015)


Bandung, 10 Mei 2016



Daftar Rujukan

Black, Jonathan. 2015. Sejarah Dunia yang Disembunyikan (The Secret History of the World), terj: Isma B. Soekato dan Adi Toha. Tangerang: Pustaka Alvabet.
Coelho, Victor. 1992. Music and Science in the Age of Galileo. London: Kluwer Academic Publishers.
Field, J.V. 1984. “A Lutheran Astrologer: Johannes Keppler”, Archive for History of Exact Sciences, Vol. 31 No. 3: h. 207—219.
Godwin, Joscelyn. 2007. “Kepler and Kircher on the Harmony of the Spheres”. Hermetic Library: http://www/hermetic.com.
Magee, Bryan. 2008. The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius.
Masruri, Hadi. 2005. Ibn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara.
Keppleri, Ioannis. 1619 (Anno M. DC. XIX). Harmonices Mvndi: Libri V. Qvorvm. Lincii Austriae: Sumptibus Godofredi Tampachii Bibl. Francof. Excudebat Ioannes Plancvs.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.
www.drbo.org. Latin Vulgate (Clementine): Book of Genesis, diakses 11 Mei 2016.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Minggu, 08 Mei 2016

PRAM MEMBELA DIRI


            Mendengar nama Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya Pram), bagi sebagian orang mengacu kepada nama seorang sastrawan yang kerap dicap berideologi komunis. Jaksa Agung pada 1980-an (di era Orde Baru), misalnya, mengklaim bahwa roman Bumi Manusia sebagai karya yang menyebarkan paham Marxisme-Leninisme sehingga Bumi Manusia sempat dilarang tahun 1981. Selain Jaksa Agung, Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto adalah tokoh yang gencar menyerang Pramoedya sebagai sastrawan yang berafiliasi pada ideologi Marxisme-Leninisme. Dalam buku Prahara Budaya, yang ditulis oleh Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto (1995: 71), dinyatakan, “Surga dunia di Rusia tahun 1960, yang dipuja Pramoedya, itu tidak ada. Sayang sekali sastrawan terkemuka Indonesia telah berhasil dibina Uni Sovyet menjadi corong propaganda ideologi Marxisme-Leninisme, dan belakangan, menjelang gestapu (Gerakan September Tiga Puluh—Gema), dirangkul oleh RRC.”
            Karena banyak pihak yang menyerangnya, maka sejumlah karya Pram dilarang oleh Jaksa Agung di era Orde Baru. Roman Tetralogi Buru, yang dicap sebagai karya penyebar paham komunisme, terdiri atas Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Roman Rumah Kaca sendiri, dilarang oleh Jaksa Agung Sukarton pada 8 Juni 1988. Sebetulnya, selain Pramoedya masih banyak sejumlah buku yang dilarang oleh Jaksa Agung di era Orde Baru. Di antaranya adalah Memoar Oei Tjoe Tat (1995), dan Bayang-bayang PKI (1995), oleh Institut Studi Arus Informasi, yang dilarang karena berbau politis.
Berdasarkan kasus tersebut, saya pun tertarik untuk melakukan kajian atas salah satu roman yang pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 1981 (Toer, 2009: 1) itu, yakni roman Bumi Manusia karya Pram. Bumi Manusia ditulis Pram tahun 1975, dalam periode Orde Baru. Sebelum karya ini ditulis, Pramoedya menceritakannya terlebih dahulu (secara lisan) kepada teman-temannya ketika ia di penjara, di bawah pemerintahan Orde Baru, pada 1973. Seperti telah disinggung di atas, roman ini sempat dilarang Jaksa Agung pada 1981, di era Orde Baru lantaran dianggap menyebarkan paham Komunisme dalam sastra. Meskipun demikian, hingga saat ini roman tersebut telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa (Toer, 2009:5).
            Dengan setting cerita di Jawa Timur, pada abad ke-19 menjelang awal abad ke-20, dalam karyanya ini Pramoedya bercerita tentang bibit pergerakan nasional. Melalui tokoh Minke, seorang pelajar Hogere Burgerschool (HBS), Pram menggambarkan perjalanan seorang Bumiputera yang memiliki kesadaran dalam menyikapi bangsanya. Kesadaran tokoh bernama Minke tersebut, merupakan cikal bakal terbentuknya pergerakan bangsa dan nasion Indonesia.
Berkat karyanya ini, Pram banyak menuai penghargaan dari luar negeri. Prestasinya di gelanggang sastra dan kebudayaan telah menghasilkan berbagai penghargaan internasional. Di antaranya, The PEN Freedom-to-write Award pada 1998; Ramon Magsaysay Award pada 1995; Fukuoka Cultur Grand Price, Jepang pada 2000; The Norwegian Authors Union pada 2003. Di samping itu, namanya sering kali masuk dalam daftar kandidat pemenang Nobel Sastra. Walaupun begitu, cap komunis masih lekat pada dirinya, sekalipun pada 1979 Pramoedya mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI (Toer, 1995: 315).
Sebaliknya, di negerinya sendiri ia justru menjadi tahanan politik di era Orde Baru selama empat belas tahun (1965—1979). Bahkan, sejak 1979 hingga 1999, ia masih dikenakan sebagai tahanan rumah, tahanan kota, dan tahanan negara, dan wajib lapor ke Komando Distrik Militer (KODIM) Jakarta Timur, satu kali seminggu, selama dua tahun (Toer, 2009: 1). Akan tetapi, bagaimanakah ungkapan bahasa Pram dalam Bumi Manusia? Apakah terdapat indikasi ideologi Komunisme dalam tulisan Pram? Bukankah yang tampak justru nilai-nilai nasionalisme yang sangat kental, karena Pram menggambarkan sebuah negeri jajahan yang memperjuangkan pembebasan dari praktek kolonialisme?

Pram dan Nasionalisme
Sejumlah permasalahan yang dibentuk Pram dalam novelnya ini tidak semata sebagai karya tanpa latar belakang. Karya sastra, setidaknya merupakan sarana bagi pengarang untuk meluapkan perasaan yang menyesakkan batinnya. Sebab, melalui sastra kata-kata tercipta untuk menjadi pedang perlawanan dan perisai pertahanan diri si pengarang.
Sehubungan dengan pernyataan Pram terhadap reaksi atas sistem kolonialisme dan pergerakan nasional yang tercermin dalam Bumi Manusia, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep nasionalisme. Nasionalisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa kesetiaan tertinggi atas setiap pribadi (individu) harus diserahkan kepada negara-kebangsaan. Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988:610), nasionalisme adalah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Sementara, dalam Kamus Politik, nasionalisme adalah perasaan atas dasar kesamaan asal-usul, rasa kekeluargaan, rasa memiliki hubungan-hubungan yang lebih erat dengan sekelompok orang daripada dengan orang-orang lain, dan mempunyai perasaan berada di bawah satu kekuasaan. Nasionalisme diperkuat oleh adanya tradisi, adat-istiadat, dongeng-dongeng, dan mitos-mitos, serta oleh satu bahasa yang sama; semangat kebangsaan (Ismatullah dan Gatara, 2007: 140).
Lebih lanjut, Berdasarkan proses pembentukannya, nasionalisme menurut Nurcholis Madjid (dalam Ismatullah dan Gatari, 2007: 141), mengandung beberapa prinsip umum, antara lain:
1.         kesatuan (unity), yang mentransformasikan hal-hal yang polimorfik menjadi monomorfik sebagai produk proses integrasi;
2.         kebebasan (liberty), khususnya bagi negeri-negeri jajahan yang memperjuangkan pembebasan dari kolonialisme;
3.         kesamaan (equality), sebagai bagian implisit dari masyarakat demokratis yang merupakan antitesis dari masyarakat kolonial yang diskriminatif dan otoriter;
4.         kepribadian (identity), yang lenyap karena negasi kaum kolonial; dan
5.         prestasi amat diperlukan untuk menjadi sumber inspirasi dan kebanggan bagi warga negara.
Berdasarkan sejumlah ciri-ciri nasionalisme menurut Nurcholis Madjid di atas, kiranya banyak terdapat dalam Bumi Manusia. Misalnya, prestasi yang diraih oleh seorang pribumi, yakni pada tokoh Minke sebagai siswa terbaik HBS di Surabaya. Minke melampaui para siswa lainnya yang berdarah indo maupun Eropa totok. Hal ini, sengaja Pram ungkapkan melalui Bumi Manusia agar bangsanya menyadari bahwa bangsa Indonesia mampu bersaing dengan bangsa lain, bahkan melampaui bangsa-bangsa lainnya. Artinya, tindakan bahasa Pramoedya lebih mengungkapkan isu pembentukan nasionalisme ketimbang komunisme.

Semangat Nasionalisme Pram dalam Bumi Manusia
Pertama, mari kita lihat pembelaan diri seorang Pram melalui ungkapan tokoh Nyai Ontosoroh kepada Minke mengenai orang-orang Eropa. Dalam hal ini, dikisahkan bahwa sejumlah media massa cetak milik Belanda di Surabaya menuduh Nyai Ontosoroh berindikasi melakukan pembunuhan terhadap Herman Mellema, yang meninggal keracunan minuman keras. Dari tuduhan yang mengalir tersebut, Nyai Ontosoroh menyatakan kegeramannya.
            “Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak penyek terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai Pribumi lebih salah lagi. Kita menghadapi keadaan yang lebih sulit, Minke, anakku!” (Bumi Manusia, 2009: 413)
            Berdasarkan tindak ilokusi menyangka, kutipan di atas diberi pemaknaan sebagai ekspresi luapan Pram terhadap perlakuan orang Eropa kepada bangsa kita. Kaum pribumi adalah objek utama yang menjadi bulan-bulanan tatkala permasalahan sosial hadir. Pada ungkapan, “Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi pribumi pun sudah salah,” adalah pernyataan Pramoedya terhadap orang Eropa yang dengan sewenang-wenang menganggap Pribumi sebagai bangsa yang hina dan selalu salah. Dalam kutipan tersebut tampak tercermin rasa kepedulian Pram terhadap bangsanya yang mengalami penderitaan sebagai dampak dari penjajahan. Dalam hal ini, ia hendak menegaskan, bahwa dirinya menentang keras tindak diskriminatif dan otoriter.
            Di samping itu, perlawanan Pramoedya sebagai pernyataan sikapnya terhadap sistem penjajahan, juga tercermin pada tokoh Minke berikut, yang mulai menyadari bahwa bangsa Eropa tidak berlaku adil bagi bangsanya.
            “Benar, ini tak lain dari perkara bangsa kulit putih menelan Pribumi, menelan Mama, Annelies dan aku. Barangkali ini yang dinamai perkara kolonial—sekiranya penjelasan Magda Peters benar—perkara menelan Pribumi bangsa jajahan.” (Bumi Manusia, 2009: 495)
Berdasarkan tindakan bahasa Pram di atas, diberi pemaknaan bahwa praktek kolonialisme di Hindia-Belanda hanyalah praktek menelan Pribumi sebagai bangsa jajahan. Dalam kutipan tersebut, tampak Pram menyuarakan aspirasinya terhadap negasi kaum kolonial yang hanya memihak kaum tertentu saja yang memiliki hak istimewa. Dalam sejumlah perkara, pribumi mustahil dapat memenangkannya. Pramoedya, menyadari hal itu. Meskipun tidak ada bukti kaum pribumi tidak memiliki kesalahan, namun praktik kolonial yang memiliki kekuasaan penuh terhadap rakyat pribumi dapat melakukan apa pun sesuai kewenangannya. Akan tetapi, kewenangan tersebut seringkali disalahgunakan hanya untuk membungkam kaum pribumi yang berani melawan. Bahkan, kebebasan berpendapat saat itu masih terbatas. Sebab, kaum pribumi pada saat itu masih belum memiliki kesetaraan status dengan penduduk Eropa di Hindia-Belanda. Suatu catatan dalam buku Nusantara Sejarah Indonesia (2010) yang ditulis Vlekke, menjelaskan hal tersebut.
Vlekke (2010: 384) berkata bahwa pada 1899 pemerintah Belanda telah memberikan warga negara Jepang kesetaraan status dengan orang Eropa, dan setelah 1909 seorang Jepang memegang jabatan konsul di Batavia. Terlebih lagi, kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 memperkuat wibawa Jepang di dunia internasional. Hal ini, mendorong pemimpin-pemimpin Indonesia mencari kesetaraan hak dengan penduduk Eropa di negeri mereka. Akan tetapi, barulah pada 1900 pemerintah Batavia mulai mencurahkan energi besar pada perluasan pengetahuan di kalangan orang Indonesia dan mendirikan sekolah Belanda dan Indonesia berdampingan. Itupun, masih diwarnai dengan tindak diskriminasi dan ecehan dari siswa Eropa terhadap siswa pribumi.
            Pernyataan Pramoedya berkenaan dengan perlawanannya terhadap sistem kolonialisme, juga tercermin dalam tindak ekspositif melalui sebuah pengibaratan. Dalam hal ini, Nyai Ontosoroh berucap kepada Minke ihwal perasaan kaum pribumi yang hendak melawan kaum penguasa kolonial.
Ya, Nak, Nyo, memang kita harus melawan. Betapapun baiknya orang Eropa itu pada kita, toh mereka takut mengambil risiko berhadapan dengan keputusan hukum Eropa, hukumnya sendiri, apalagi kalau hanya untuk kepentingan Pribumi. Kita takkan malu bila kalah. Kita harus tahu mengapa. Begini, Nak, Nyo, kita, Pribumi seluruhnya, tak bisa menyewa advokat. Ada uang pun belum tentu bisa. Lebih banyak lagi karena tak ada keberanian. Lebih umum lagi karena tidak pernah belajar sesuatu. Sepanjang hidupnya Pribumi ini menderitakan apa yang kita deritakan selama ini. Tak ada suara, Nak, Nyo—membisu seperti batu-batu kali dan gunung, biarpun dibelah-belah jadi apa saja. Betapa akan ramainya kalau semua mereka bicara seperti kita. Sampai-sampai langit pun mungkin akan roboh kebisingan.” (Bumi Manusia, 2009: 499)
Pribumi yang tidak dapat menyatakan suaranya tersebut, Pramoedya mengibaratkannya sebagai batu-batu kali dan gunung yang selalu membisu. Bila semua batu-batu yang membisu itu berbicara (kaum Pribumi), langit pun akan roboh kebisingan (langit mengacu pada ketinggian—Eropa yang berkuasa). Berarti, Pramoedya mengingatkan bahwa apabila integrasi antarbangsa-bangsa kaum pribumi di Hindia-Belanda terjalin, maka bangsa-bangsa pribumi tersebut dapat melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Berkaitan dengan hal di atas, tampaknya Pramoedya tanpa tidak disengaja menggambarkan pernyataan penolakannya terhadap kolonialisme. Tindak diskriminasi serta pemerasan terhadap kaum pribumi, adalah sejarah kelam dari hasil yang dituai dari sistem kolonialisme. Pramoedya menggambarkannya dengan adegan di mana Maurits Mellema, berdasarkan wewenang pemerintah kolonial, berhak mendapatkan warisan Herman Mellema. Padahal, warisan yang meliputi peternakan, perladangan, serta perusahaan itu adalah hasil jerih payah seorang perempuan Pribumi, yakni Nyai Ontosoroh. Akan tetapi, tindak diskriminatif berlaku bagi pribumi yang dianggap hina. Meskipun Nyai Ontosoroh membangun dan menyukseskan perusahaan Boerderij Buitenzorg, namun hukum koloniallah yang berhak memutuskan jatuh kepada siapa warisan tersebut. Hal ini, sejalan dengan yang dikatakan oleh Hellwig dalam bukunya Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda (2007: 38), bahwa seorang Nyai boleh dikatakan tak punya hak apa pun, tidak punya hak atas anaknya, pun tidak atas posisinya sendiri. Dari sini lah Pram menaswirkan bibit pergerakan nasional kaum perempuan.

Bibit Pergerakan Nasional Kaum Perempuan
Berhubungan dengan analisis sebelumnya, kutipan di bawah ini merupakan gambaran bagaimana tokoh Nyai Ontosoroh memulai kariernya sebagai pengusaha yang akan menyukseskan perusahaan Boerderij Buitenzorg. Kutipan berikut, adalah tindak memproklamirkan Nyai Ontosoroh kepada Annelies. Nyai Ontosoroh menceritakan pengalaman kehidupannya ketika bersama Herman Mellema. Ia tidak saja menceritakan pengalamannya pertama kali bertemu dengan Herman Mellema, tetapi juga keberhasilannya dalam memeroleh ilmu pengetahuan dan perusahaan.
            “Dengan uang itu aku beli pabrik beras dan peralatan kerja lainnya. Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku. Kemudian aku mendapat juga pembagian keuntungan selama lima tahun sebesar lima ribu gulden. Tuan mewajibkan aku menyimpannya di bank atas namaku sendiri. Sekarang perusahaan dinamai Boerderij Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani, orang yang berhubungan denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg.” (Bumi Manusia, 2009: 135)
Dalam kutipan “Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku”, Nyai Ontosoroh memproklamirkan bahwa perusahaan itu juga miliknya. Kemudian, pada kalimat “Sekarang perusahaan dinamai Boerderij Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani …. ”, Nyai Ontosoroh memproklamirkan bahwa semenjak semua urusan dalam perusahaan ditangani olehnya, perusahaan itu dinamai Boerderij Buitenzorg. Lalu, pada kalimat “ …. Orang yang berhubungan denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg”, adalah pernyataan Nyai Ontosoroh yang bermakna sebagai pemegang perusahaan besar meskipun hanya seorang Nyai.
Seorang pengarang yang memiliki kesadaran nasional seperti Pramoedya, hendak mengingatkan bahwa kaum pribumi pun mampu mandiri. Seperti halnya Nyai Ontosoroh, kaum pribumi pun mampu menyerap ilmu pengetahuan, sehingga kiat-kiat perdagangan mampu dilakoni oleh Nyai Ontosoroh, meskipun dirinya perempuan pribumi. Dalam hal ini, Pramoedya bermaksud menyatakan bahwa bangsa-bangsa kaum pribumi mampu menjalankan hidupnya atas dasar keringat dan kemampuan sendiri. Di samping itu, pengalihan perusahaan atas nama Herman Mellema menjadi atas nama Nyai Ontosoroh, sebagaimana tercermin dalam kutipan tindak memproklamirkan di atas, penulis mengaitkannya dengan apa yang diistilahkan dengan nasionalisasi asset asing menjadi milik bangsa.

Integrasi Bangsa-bangsa Melawan Kekuatan Penjajah
Adapun penggambaran sejumlah pergerakan bangsa-bangsa melawan penjajahan merupakan salah satu semangat nasionalisme Pramoedya sebagai pengarang. Timbulnya perlawanan bangsa Aceh pada Perang Aceh, merupakan peristiwa yang hendak disampaikan Pramoedya sebagai salah satu contoh bibit pergerakan nasional menuju integrasi. Kemudian, reaksi Nyai Ontosoroh dalam mempertahankan hak asasinya sebagai manusia di muka persidangan, adalah maksud Pramoedya dalam menyatakan bahwa bangsa-bangsa kaum pribumi mampu berjuang menjalankan hidupnya atas dasar keringat dan kemampuan sendiri. Hal ini, merupakan perlawanan terhadap sistem kolonial yang oleh Nurcholis Madjid dikatakan diskriminatif dan otoriter. Lebih jauh, Pramoedya juga hendak menyampaikan melalui Bumi Manusia bahwa identitas kita sebagai bangsa Indonesia tidaklah harus lenyap oleh negasi kaum kolonial. Dengan  demikian, Pramoedya menggambarkan karakteristik orang Aceh, identitas orang Jawa, dan lain sebagainya semata agar kita sebagai bangsa yang heterogen tidak melenyapkan adat serta tradisi yang berlaku dalam tiap-tiap bangsa yang ada di Indonesia. Misalnya, seperti tindakan bahasa memproklamirkan yang diutarakan oleh tokoh Minke berikut,
Pada cermin kutemui diriku seperti satria pemenang dalam cerita Panji. Di bawah bajuku menjulur selembar kain beledu tersulam benang emas. Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa juga.” (Bumi Manusia, 2009: 198)
Pengalaman di Aceh membikin ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan perang Pribumi ternyata keliru. Kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan berorganisasi juga tinggi ... Prasangkaku, sekali waktu ia bercerita, bahwa parang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan mampu menghadapi senapan dan meriam, juga keliru. Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan kepercayaannya, telah banyak kekuatan Kompeni dihancurkan. Aku heran melihat kenyataan ini, tambahnya lagi. Mereka membela apa yang mereka anggap jadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.” (Bumi Manusia, 2009: 86—87)
            Dalam ungkapan, ”Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan kepercayaannya, telah banyak kekuatan Kompeni dihancurkan,” adalah tindakan bahasa perlokusi meyakinkan Pramoedya bahwa orang Aceh juga punya cara berperang khusus sehingga kekuatan musuh dapat dihancurkan. Mulai dari kanak-kanak pun rela mati demi mempertahankan sesuatu yang dianggap menjadi haknya. Dalam tindak perlokusi, Pramoedya juga hendak mengajak kita agar kita bangga menjadi anak bangsa, yang memiliki keberagaman dan kekayaan budaya, bahasa, dan sumber daya alam yang dikagumi dan diakui oleh dunia internasional. Hal ini, selaras dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang termaktub dalam Pancasila, yang berarti “berbeda-beda suku, agama, dan ras namun tetap satu tujuan”.

Aspirasi Pram Terhadap Nasionalisasi Aset
            Pram agaknya menaruh kepedulian mendalam mengenai sejumlah perusahaan Indonesia yang sebagian besar dikuasai bangsa asing, sebagaimana tampak tercermin dalam kutipan berikut.
            “Dengan uang itu aku beli pabrik beras dan peralatan kerja lainnya. Sejak itu perusahaan bukan milik Tuan Mellema saja sebagai tuanku, juga milikku. Kemudian aku mendapat juga pembagian keuntungan selama lima tahun sebesar lima ribu gulden. Tuan mewajibkan aku menyimpannya di bank atas namaku sendiri. Sekarang perusahaan dinamai Boerderij Buitenzorg. Karena semua urusan dalam aku yang menangani, orang yang berhubungan denganku memanggil aku Nyai Ontosoroh, Nyai Buitenzorg.” (Bumi Manusia, 2009: 135)
Dari kutipan di atas, tampak Pramoedya menekankan perhatiannya terhadap permasalahan aset di Indonesia. Terdapat banyak perusahaan yang berdiri di Indonesia, namun otoritas penuh dipegang oleh pihak asing. Melalui kutipan ini, Pramoedya hendak menyatakan bahwa Pribumi pun sebenarnya mampu mengelola aset-aset tersebut berdasarkan kemampuannya sendiri tanpa bergantung kepada pihak asing. Melalui tokoh Nyai Ontosoroh, Pramoedya menggambarkan seorang pribumi yang mampu menguasai aset asing dan Pramoedya juga berharap agar pribumi pun hendaknya mengelola dan memiliki aset-aset asing yang terdapat di Indonesia dengan kemampuan sendiri.

Pengaruh Lingkungan
Proses kreatif kepengarangan Pramoedya, juga tampak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial kehidupannya. Sebagaimana diketahui, Pramoedya lahir pada 6 Februari 1925, di Blora, Jawa Tengah. Blora merupakan daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis. Kahin (1995: 56), misalnya, mengatakan bahwa salah satu contoh terbaik dari aksi protes kaum tani diwujudkan oleh pergerakan Samin yang mulai dicetuskan pada 1890 di wilayah Blora, bagian Timur laut Jawa Tengah. Menjelang tahun 1907, ketika pemerintah menangkap dan memenjarakan Samin beserta delapan petani terkemuka lainnya, gerakan tersebut telah mencakup 3.000 kepala keluarga. Sejak itu, gerakan tersebut terus menyebar, dan meskipun pada umumnya melakukan perlawanan secara pasif terhadap kekuasaan pemerintah, toh mengakibatkan beberapa kerusuhan yang serius di wilayah Pati, pada 1914.
Ciri pokok pergerakan Samin ini adalah keinginan kaum tani untuk memeroleh kebebasan menuntut jalan hidupnya sendiri tanpa campur tangan pemerintah, dan untuk kembali kepada suatu organisasi sosial yang komunalistis berdasarkan atas persamaan ekonomi antarindividunya, dan atas pemilikan tanah serta pemungutan hasil secara wajar.
Hal di atas, kiranya sedikit menerangjelaskan mengapa perlawanan Pramoedya terhadap sistem kolonial dalam Bumi Manusia begitu sengit.  Seperti terdapat dalam Bumi Manusia, Pram tampak mengagungkan Max Havelaar karya Multatuli. Sebab, karya sastra yang menaruh simpati terhadap penderitaan kaum Pribumi pada saat itu adalah Max Havelaar sekalipun penulisnya seorang Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa semangat nasionalisme Pram tidak dipengaruhi oleh unsur sentimen ras.
Pengejawantahan penderitaan kaum Pribumi dan meningkatnya kesadaran politis ke dalam suatu nasionalisme yang bisa mengemukakan pendapat, hanya tinggal menanti munculnya seorang elite Indonesia untuk memimpinnya. Yang dimaksud dengan elite Indonesia tersebut, adalah kaum bangsawan yang pada saat itu berhak memeroleh pendidikan yang layak. Tokoh Minke dalam Bumi Manusia, adalah kaum elite yang dimaksud. Sebab, sebagai anak bupati Bojonegoro, ia memiliki banyak hak, tidak seperti kaum Pribumi lainnya. Hak tersebut, di antaranya meliputi hak meraih pendidikan tinggi (Hogere Burgerschool dan School Tot Opleiding van inlandsche Artsen) dan hak hukum, yakni forum Privilegiatum: Forum sederajat dengan orang Eropa di depan pengadilan untuk bangsawan Pribumi sampai ke bawah bergelar Raden Mas atau setarafnya dan anak sampai cucu bupati (Toer, 2009: 172). Dengan demikian, sosok elite Pribumi yang Pramoedya tampilkan, kiranya pilihan itu jatuh melalui tokoh Minke, yang digambarkan sebagai putra bupati yang belajar di HBS. Dengan begitu, Pramoedya mengonstruksi kekuatan yang dimiliki oleh seorang bangsawan seperti Minke dalam membangun kemajuan bangsanya.
Dengan demikian, penulis beranggapan bahwa kebijakan Jaksa Agung di era Orde Baru dalam hal pelarangan Bumi Manusia, yang dianggap menyebarkan paham komunisme, tidaklah tepat. Sebab, kepengarangan Pramoedya dalam sudut tindakan bahasa justru menonjolkan semangat nasionalismenya sebagai seorang pengarang. Implikasi dari penyalahgunaan wewenang, sama saja dengan pelanggaran hak asasi manusia dalam menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28-F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada, (Wibowo, 2009: 2). Artinya, kebijakan pemerintah Orde Baru saat itu tidak dilandasi dengan sikap arif dan cenderung lebih menonjolkan arogansinya dalam hal menegakkan ketertiban umum. Padahal, pada 21 Desember 1979 Pramoedya telah mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S (Toer, 2009:1). Maka, sudah sepatutnya wewenang dan otoritas yang dimiliki Jaksa Agung dilandasi dengan kebijakan arif agar tidak menyalahgunakan jabatannya.


Daftar Rujukan

Hellwig, Tineke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ismatullah, Deddy dan Asep. A. Sahid Gatara. 2007. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif: Kekuasaan, Masyarakat, Hukum, dan Agama. Bandung: CV Pustaka Setia.
Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Surabaya: Universitas Sebelas Maret University Press.
Moeljanto, D.S. dan Taufiq Ismail. 1995. Prahara Budaya. Bandung: Penerbit Mizan.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi pertama). Jakarta: Perum Balai Pustaka.
Toer, Pramoedya Ananta. 1995. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera.
Toer, Pramoedya Ananta. 2009. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara.
Vlekke, Bernard H.M. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia. Penerjemah: Samsudin Berlian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Wibowo, Wahyu. 2009. Menuju Jurnalisme Beretika. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.




Designed By Blogger Templates