Prolog
Pernahkah kita merenungi, bahwa tanpa sadar kebebasan
kita mungkin disekat oleh berbagai informasi (apapun itu) yang kita pegang
sebagai keyakinan. Karena kita anggap sebagai keyakinan, kemudian informasi
tersebut menjelma menjadi mindset, dan karena diyakini sebagai mindset
akhirnya dianggap sebagai bagian dari hidupnya. William James berkata, bahwa
pandangan kita tentang dunia tergantung pada apa yang kita putuskan untuk kita
dengar. Sehingga, ketika ada informasi baru yang datang (kendati informasi baru
itu mungkin lebih benar) ia akan merasa eksistensi dirinya tengah terancam.
Keputusan untuk tidak mau terbuka terhadap informasi atau pendapat orang lain
ini, pada puncaknya berujung pada sikap intoleran dan menganggap bahwa “tiada
kebenaran lain selain kebenaran yang aku pegang ini.” Menurut Psikolog-Sosial
Perancis, Gustave Le Bon, hal tersebut terdapat pada sikap sebagian banyak
orang.
Sebetulnya, sikap intoleran bukanlah aktivitas
intelektual, tetapi luapan sikap emosional. Aktivitas emosional didasari dengan
sejumlah sifat ke-Aku-an yang megah, sehingga cenderung memandang bahwa
kebenaran yang dipegangnya adalah kebenaran absolut. Karena ia bersifat
emosional maka ia memerlukan semacam terapi jiwa yang mampu meluluhkan
kesombongan ego. Untuk memberikan solusi, sebetulnya orang hanya cukup dengan
berpikir dan berjiwa bijak. Namun, untuk mengaktualisasikan potensi kebijaksanaan
yang terpendam dalam diri adakalanya seseorang membutuhkan cara pandang. Sudah
sejak ratusan tahun, filsafat menawarkan jalan estetika dalam kaitannya dengan emosi.
Sebab, estetika menyentuh persoalan rasa dan penilaian baik-buruk karena ia
berkaitan erat dengan keindahan.
Lalu, kenapa harus estetika? Sebab, fakta di luar tak
dapat dimungkiri bahwa jarang orang yang menyentuh (atau bahkan tak menyadari)
aspek keindahan. Padahal, antara benar, baik, dan indah itu berbeda tipis.
Misal, pernikahan antara laki-laki dan perempuan dapat dikatakan sebagai
kebenaran. Bila pernikahannya dihiasi dengan kemesraan budaya (pertunjukkan
seni/budaya lokal) maka menjadi indah. Lalu, apabila terjadi konflik antar-keluarga
(baik perbedaan pendapat atau keyakinan) namun ia tetap menjalin silaturahim kekerabatan,
berarti tindakannya dapat disebut sebagai kemuliaan sekaligus baik. Suatu
kebenaran takkan lengkap tanpa estetika, dan estetika akan sempurna bila
dihiasi kemuliaan (wisdom). Dengan demikian, estetika tidak hanya
aksesoris semata melainkan dasar pandangan hidup yang memberikan efek pada
gejala fisik dan kejiwaan seseorang. Minimal, dengannya seseorang dapat
menyelaraskan antara pikiran dan tindakannya, sehingga ia berlaku imbang dan
harmonis.
Secara etimologi, estetika diambil dari bahasa Yunani, aisthetike
yang berarti segala sesuatu yang dicerap oleh indera. Sebagai salah satu
cabang filsafat, estetika pada dasarnya merupakan ilmu yang membahas keindahan,
yang meliputi uraian ihwal bagaimana keindahan dapat terbentuk, dan bagaimana
seseorang bisa merasakan dan memberikan penilaian terhadapnya. Dalam konteks
rasa, estetika kerap digadang-gadang sebagai unsur yang bernilai filosofis
terkait dengan aspek-aspek sensoris, yakni olah batin melalui persepsi emosi-sentimental.
Pada turunannya, estetika merupakan cabang filsafat aksiologi yang sering
diasosiasikan dengan kesenian. Karena turunan dari aksiologi, maka estetika
membicarakan penilaian baik-buruk atau indah-jelek. Inilah yang membedakannya
dengan epistemologi yang membahas seputar benar-salah.
Estetika bukanlah “barang baru” dalam pembahasan
filsafat. Pasalnya, estetika bertalian erat dengan aspek seni. Pada 500—300
Sebelum Masehi, konsep estetika dan seni dapat kita rujuk pada pemikiran para
filsuf Yunani kaliber Socrates, Plato, dan Aristoteles yang masing-masing
membicarakan seni dalam kaitannya dengan konsep filsafat. Karena estetika
bertalian dengan keindahan, maka pembahasannya dihubungkan dengan seni. Pengetahuan
ini juga disebut dengan filsafat keindahan, termasuk di dalamnya keindahan alam
yang seringkali diwujudkan dalam keindahan karya seni (Sumardjo, 2000: 24).
Itulah mengapa ketika menyinggung ihwal seni Plato
berkata, “Ars imitatur naturam”—seni adalah mimesis/tiruan alam. Menurutnya,
karya seni hanya dapat meniru kenyataan, sebab mengandung konsekuensi logis:
bahwa karya seni adalah bagian dari kenyataan! Yakni, semua keindahan di dunia
ini merupakan imitasi, penghayatan, atau peniruan yang diabstraksi (baca:
ditarik dari) alam. Mimesis merupakan sebuah daya representasi yang timbul
sebagai akibat kesempurnaan karya sehingga muncul kegairahan baik bagi yang
menciptakan maupun yang menikmati.
Kegairahan tersebut, berupa potensi pelbagai macam
perasaan yang dihasilkan melalui situasi atau kondisi tertentu. Maka, ketika
raga (melalui alat pancaindra) mempersepsi suatu kondisi, saat itu pula jiwa
mengalami suatu rasa yang efeknya nampak pada gejala-gejala. Gejala ini terbagi
dua, yaitu gejala fisik dan gejala batin. Pada gejala fisik,
perasaan bahagia misalnya, berefek pada seseorang untuk tersenyum. Perasaan
sedih berefek pada seseorang untuk menangis. Perasaan marah berefek pada raut
wajah atau nada suara seseorang. Sedangkan gejala batin,
seperti perasaan cinta yang berefek pada rasa kagum berbunga-bunga (catatan:
apakah bila seseorang merasakan jatuh cinta lantas kata-kata masih
diperlukan?), atau ketika melihat suatu pemandangan indah, kita pun merasa
takjub. Nah, perasaan-perasaan tersebut, kiranya sering dicurahkan dalam luapan
ekspresi artistik.
Sebagai contoh adalah seni musik yang sangat akrab
dengan masyarakat kita. Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan
mendamaikan hati yang gelisah, sebab ia mempunyai terapi penghibur dan
menumbuhkan semangat bagi jiwa. Musik memiliki fungsi dan tidak sekadar hiburan
“pembunuh jenuh di kala sepi”. Senada dengan Aristoteles, dikatakan al-Farabi (870—950)
bahwa musik menimbulkan efek terapi bagi jiwa. Al-Farabi menandaskan bahwa
suara binatang mengekspresikan emosi mereka baik dalam kegembiraan maupun
kesedihan. Sementara itu, suara manusia, dengan intensitas yang lebih besar
mengungkapkan perasaan yang lebih beragam.
Dengan keberagaman ekspresi manusia, al-Farabi dipercaya
sebagai pemusik ulung yang mampu membuat orang tertawa, menangis, bahkan
tertidur tatkala ia tengah memainkan musik. Uraiannya ihwal musik yang
termaktub dalam Kitab al-musiqi al-Kabir itu seharusnya terdiri dari dua
jilid buku. Namun, jilid kedua yang dimaksudkan sebagai komentar pada
karya-karya penulis sebelumnya telah hilang dan mungkin tidak pernah selesai.
Sebagian ahli sejarah lainnya berpendapat bahwa kitabnya tentang musik dianggap
menyimpang dan berbahaya sehingga kemudian dibakar habis.
Kendati demikian, secara umum aturan konvensional
menyepakati bahwa teori musik paling tidak terdiri dari unsur suara, harmoni, notasi
ritme, dan nada. Lantas, apa relasi antara alam dengan harmoni dalam musik? Bila
ada relasinya, maka bagaimanakah musik yang diproduksi berdasarkan perenungan
terhadap alam itu? Lalu, apa kaitan antara musik, alam semesta, dan manusia?
Musik
Alam Semesta
Dalam magnum opusnya yang berjudul Harmonices
Mundi (1619), seorang astronom terkemuka, yakni Johannes Kepler
(1571–1630), telah menemukan suatu hubungan antara kecepatan planet-planet
mengorbit dan harmoni musik. Dengan kata lain, ia berhasil menemukan pola musik
melalui pengamatannya terhadap keteraturan benda-benda langit. Dalam Hukum
Ketiganya, Kepler menghitung tangga nada musik dari kecepatan planet pada titik
terdekat (perihelion) dan titik terjauh dari matahari (Aphelion)
yang berefek pada naik-turunnya suara (bandingkan: Magee, 2008: 66). Menurutnya,
planet yang terletak jauh dari matahari memiliki perioda orbit yang lebih panjang
dari planet yang dekat jaraknya dari matahari (perioda kuadrat suatu planet
berbanding dengan pangkat tiga jarak rata-ratanya dari Matahari—Kepler).
Konsep dasar dari karyanya itu, didasarkan pada Alkitab
yang berbunyi:
“In
principio creavit Deus caelum et terram.” (Genesis 1:1)
(Artinya: “Pada mulanya, Allah menciptakan langit dan
bumi”)
Bumi bukanlah berasal dari sesuatu yang acak (random),
tetapi dari Tuhan sendiri yang menciptakan dengan keteraturan dan keharmonisan.
Ketika Tuhan menciptakan jagat raya, blueprint alam semesta sudah ada
dalam pengetahuan diri-Nya. Gerak planet-planet yang tersusun secara harmonis
tersebut, membuktikan adanya “Pengatur Alam Semesta” yang tak terindrawi dengan
mata telanjang. Ungkap Kepler, bahwa Tuhan menciptakan dunia dalam keharmonisan
melalui sejumlah model geometri yang tergambar di dunia eksternal. Model
geometri yang terbentuk dari harmoni tersebut mewujud dalam pola-pola musik.
Dalam hal ini, Kepler meyakini bahwa planet-planet dapat menghasilkan harmoni
enam suara. Gambar berikut merupakan kutipan dari karyanya yang berjudul Harmonices
Mundi (1619: 207)
yang ditulisnya saat bermukim di Lincii (Linz), Austria.
Gambar: Temuan Kepler, tangga nada musik
dari kecepatan planet pada titik terdekat dan terjauh dari matahari yang
membentuk adanya harmoni dan keselarasan.
Keterangan
gambar:
1.
Marsfere (notasi nada planet Mars): mengeluarkan nada tenor;
2.
Venus
& Terra (notasi nada Venus dan
Bumi): mengeluarkan nada alto;
3.
Hicloeum
habetetiam (notasi nada bulan);
4.
Saturnus
& Jupiter (notasi nada Saturnus dan Jupiter) mengeluarkan nada bass;
5. Mercurius (notasi nada Merkurius): mengeluarkan nada sopran.
Catatan:
Merkurius, dengan orbit elips yang besar, mendapat jatah terbesar dari catatan
notasi nada. Sementara Venus, menurut Kepler, ditemukan hanya mampu mendapatkan
sedikit karena orbitnya hampir lingkaran.
“Venus
ferè manet in unifono non æquans tenſionis amplitudinevel minimum ex concinnis
intervallis.
Atquiſignatura
duarum in communi Syſtemate Clavium....” (Keppleri,
1619 [Anno M. DC. XIX]: 207)
Menurut Kepler, setiap
planet "bernyanyi" dengan notasi nada berbeda-beda tergantung pada variasi
kecepatan masing-masing. Merkurius dengan orbit unik yang paling cepat, memiliki
jangkauan paling tinggi dan besar. Sehingga, dalam tangga nada ia mendominasi
notasi (lihat gambar di atas). Namun, perlu dicatat bahwa gerakan ketika turun
tidaklah lebih cepat daripada naik (tidak seperti jalan menuruni gunung seusai
mendaki). Penggambaran di atas, seperti diungkap Coelho (1992: 61), “is
simply the result of the crowding” untuk memungkinkan posisi bulan di
sebelah kanan (Hicloeum habetetiam).
Kepler mengemukakan bahwa
perbedaan antara maksimum dan minimum kecepatan sudut dari planet dalam
orbitnya mendekati proporsi yang harmonis. Misalnya, kecepatan sudut maksimum
Bumi yang diukur dari Matahari bervariasi oleh semitone (dengan rasio
16:15), yakni dari nada mi ke fa, di antara Aphelion dan Perihelion.
Sedangkan Venus hanya bervariasi dengan rasio 25:24 (mengalami diesis
dalam terminologi musik).
Kepler berkata (mungkin setengah bergurau?) bahwa bumi “bernyanyi”
dengan gerakan berputar dan mengeluarkan bunyi mi, fa, mi. Tak hanya
itu, menurut Kepler planet Mars, Saturnus, Jupiter, Merkurius, Venus, dan Bumi
merupakan kelompok paduan suara surgawi di mana dapat menimbulkan bunyi yang
serempak dengan notasi berbeda. Itulah kenapa tarian para komunitas sufi-darwis
(whirling dance) mengambil gerakan berputar yang melambangkan
planet-planet yang mengelilingi garis edarnya masing-masing. Jadi,
planet-planet tidak hanya bernyanyi tetapi juga menari dengan berputar (seolah
ber-thawaf) mengelilingi sumber cahaya, yaitu Matahari. Meskipun
demikian, menurut Kepler sangat jarang seluruh planet bernyanyi secara bersamaan
dalam kerukunan yang sempurna. Akan tetapi, menurutnya hal tersebut mungkin
terjadi hanya sekali dalam sejarah, yakni pada saat momentum penciptaan.
Kepler mengingatkan kita bahwa hasil temuannya itu
merupakan produk manusia, tetapi didasarkan pada perenungan terhadap keselarasan
benda-benda langit. Namun demikian,
Kepler telah berhasil mengawinkan seni, astrologi, dan sains. Dalam artikelnya
yang berjudul Kepler and Kircher on the Harmony of the Spheres, Joscelyn
Godwin menyatakan bahwa temuan Keppler mengenai Harmoni Dunia atau Harmoni
Bola (The Harmony of the Spheres) merupakan lintas-ilmu yang
menggabungkan antara kosmologi, astronomi, matematika, dan teori musik demi
menemukan notasi nada berdasarkan gerakan planet-planet seperti dalam gambar di
atas. Mungkin tidaklah berlebihan bila filsuf Arthur Schopenhauer berkata bahwa
musik adalah melodi yang syairnya adalah alam semesta. Maka, tidaklah
mengherankan ada sebagian ilmuwan yang menyatakan bahwa musik merupakan salah
satu cabang sains. Berikut ini adalah komentar Godwin atas Harmoni Dunia (2007):
“The
Harmony of the Spheres, a transdisciplinary idea that unites cosmology,
astronomy, mathematics, and music theory, has been a major vehicle of the
Pythagorean current in the intellectual history of the West. This article
focuses on two figures who contributed largely to it in the early phase of the
Scientific Revolution. By learning and inclination, both had come under
Neoplatonic and Hermetic influences; both were adherents of that stream of
Christian esotericism that sought a deeper understanding of the created world.
But as we shall see, their attitudes to celestial harmonies were in stark
contrast to one another.”
Selanjutnya, hal yang perlu digarisbawahi adalah
penggunaan istilah “harmoni” itu tidak sepenuhnya mengacu pada definisi musik. Lebih
dari itu, pengertian harmoni di sini mencakup keselarasan jagat raya dan cara
kerja benda langit dan bumi. Kepler mengemukakan bahwa harmoni musik merupakan
produk manusia yang berasal dari sudut. Hal ini berbeda dengan harmoni yang ia
sebut sebagai menjadi fenomena yang berinteraksi dengan jiwa manusia. Beranjak
dari konteks ini, Kepler mengklaim bahwa bumi memiliki jiwa karena memiliki
harmoni astrologi (lihat: Field, 1984: 207—219). Hal tersebut senada dengan
al-Farabi dalam teori emanasinya, yang juga menganggap bahwa setiap planet
memiliki jiwa. Menurut al-Farabi, setiap sphere mempunyai bentuk
sendiri, yaitu ruhnya (al-ruh/soul).
Mengingat keduanya mendapat pengaruh dari paham Plotinus,
namun perbedaannya terletak pada uraian al-Farabi dalam konteks penciptaan (creation)
yang dijabarkannya melalui teori emanasi (al-Faydh). Dasar permasalahan
yang diangkat adalah, bagaimana alam yang beragam (banyak) itu bersumber dari
Sebab Yang Satu. Menurut teori emanasi al-Farabi, disebutkan bahwa Tuhan itu
Esa. Oleh karena Dia Esa, maka yang keluar daripada-Nya juga hanya satu wujud, karena
emanasi itu timbul karena pengetahuan (baca: ilmu) Tuhan terhadap zat-Nya yang
satu. Dan karena Dia Esa, maka tidak dapat didefinisikan. Sebab, menurut
al-Farabi definisi hanya akan menisbatkan batasan dan susunan kepada Tuhan dan
itu mustahil bagi-Nya. Tuhan itu azali, yakni Akal Murni yang
berpikir dan dipikirkan. Ia adalah ‘aql, ‘aqil, dan sekaligus ma’qul.
Lantaran pemikiran Tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang mahadahsyat, maka
daya tersebut menciptakan sesuatu. Dan cara Tuhan menciptakan alam semesta
adalah dengan ber-ta’aqqul terhadap zat-Nya sendiri (Zar, 2004: 73—75).
Adapun wujud pertama yang keluar dari pemikiran Tuhan tentang
diri-Nya disebut Akal Pertama. Jadi,dari Yang Mahaesa menciptakan yang
esa pula di mana Akal Pertama ini mengandung dua segi: (1) segi hakikatnya
sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu wujud yang mumkin, dan (2) wujudnya
yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai zat yang menjadikannya.
Dengan demikian, sekalipun Akal Pertama tersebut satu (esa), namun pada
dirinya terdapat dua aspek tersebut. Dengan adanya aspek ini, maka dapat
dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.
Lebih lanjut, dalam buku yang berjudul Jalan
Pencerahan Mencari Tuhan, Hadi Masruri (2005: 57) mengutip Ibn Thufayl
mengenai emanasi:
“Perumpamaan
emanasi cahaya Tuhan pada alam semesta adalah seperti cahaya matahari pada
cermin yang terjadi secara terus-menerus. Dari cermin ini, cahaya matahari
dipancarkan ke cermin yang lain, dan dari cermin yang lain itu, cahaya matahari
dipancarkan lagi ke cermin yang lain, dan begitu seterusnya, sehingga sinar
matahari itu tampak ada di mana-mana. Setiap refleksi dari sinar itu kemudian
memunculkan satu kosmos, sehingga mewujudkan keanekaragaman alam semesta.
Tetapi, semua sinar itu bukanlah matahari ataupun cermin itu sendiri, bukan
pula sesuatu yang lain dari matahari dan cermin. Keanekaragaman itu akan hilang
dan menyatu dengan matahari apabila ia dipandang sebagai sumber cahaya, namun
keanekaragaman itu akan muncul kembali jika dipandang sebagai cermin, di mana
cahaya matahari dipantulkan olehnya.”
Tabel berikut merupakan ilustrasi emanasi al-Farabi:
Subjek (Akal)
|
Berpikir Tentang:
|
Wajib al-Wujud
|
dirinya sendiri
|
Akal I/
AKAL MURNI
|
menghasilkan akal II
|
Langit pertama (as-sama al-ula atau al-falak al-a’la)
beserta jiwanya
|
Akal II
|
menghasilkan akal III
|
Bintang-bintang tetap
(al-Kawakib al-tsabitah/fixed stars)
|
Akal III
|
menghasilkan akal IV
|
Planet Saturnus (Zuhal) beserta jiwanya
|
Akal IV
|
menghasilkan akal V
|
Planet Jupiter (al-Musytari)
beserta jiwanya
|
Akal V
|
menghasilkan akal VI
|
Planet Mars (Marikh) beserta jiwanya
|
Akal VI
|
menghasilkan akal VII
|
Matahari (al-Syams) beserta jiwanya
|
Akal VII
|
menghasilkan akal VIII
|
Planet Venus (al-Zuhrah) juga beserta jiwanya
|
Akal VIII
|
menghasilkan akal IX
|
Planet Merkurius (‘Utharid) beserta jiwanya
|
Akal IX
|
menghasilkan akal X
|
Bulan (Qamar) beserta jiwanya
|
Akal X
|
|
Bumi (Ardh), manusia (insan), Materi bagi empat unsur:
tanah, udara, api, air.
|
Catatan:
masing-masing Akal bertugas untuk mengatur satu planet. Akal tersebut merupakan
substansi non-materi, yang sering dinisbatkan kepada malaikat. Maka,
planet-planet tersebut diatur oleh para malaikat. Setiap lingkungan mempunyai
akal (malaikat) dan jiwa yang nonmateri dan merupakan sumber gerak mereka
masing-masing. Jiwa merupakan penggerak lingkungan, sehingga planet-planet
berputar pada sumbunya dan berkeliling. Tetapi, mereka memperoleh kekuatan dan
daya-dayanya dari Akal, bergerak sesuai dengan kehendak Akal, dan menuju penyempurnaan
dengan menggerakkan lingkungannya.
Secara
rinci, teori emanasi al-Farabi dapat diringkas dalam hierarki wujud berikut:
1.
Tuhan yang merupakan Sumber Segala Sebab bagi keberadaan wujud-wujud lainnya;
2.
Para Malaikat yang merupakan wujud yang non-materi;
3.
Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial); dan
4. Benda-benda
bumi (teresterial).
Intoleransi
dan Takfiri di Abad Kegelapan
Sebagaimana kasus al-Farabi, pandangan Kepler yang
progresif tentang Harmoni Dunia itu mendapat tentangan keras dari pihak yang
menganggap bahwa pemikiran Kepler tidak sejalan dengan norma-norma agama yang
mereka yakini dan cenderung menyimpang. Karena dianggap menyimpang, maka
pandangannya dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi pemegang otoritas
keagamaan. Sebab, saat Kepler tengah merumuskan hukum-hukum dalam Harmonices
Mundi perang agama antarmazhab
Kristen meletus dan berlangsung selama 30 tahun (1614—1644). Perang yang
dilancarkan oleh Ferdinand dari dinasti Katolik Besar Hapsburg itu, bertujuan
untuk menegakkan kembali supremasi Katolik di Eropa. Dalam periode ini, lima
dari enam kota dan desa di Jerman telah dihancurkan dan penduduknya mengalami
pengurangan populasi dari sembilan juta jiwa menjadi empat juta jiwa (Black,
2015: 453). Penyiksaan, pengkafiran, dan pembantaian massal yang berakar dari
kefanatikan telah mewarnai Eropa kala itu.
Sebagai pengikut Lutheran, Kepler mengalami penganiayaan
dan prasangka agama yang berujung pada penyesatan dan pengkafiran atas dirinya.
Ia dipaksa keluar dari Graz, yang membuatnya kehilangan segala sesuatu dan
mengalami kesulitan hidup lantaran menolak untuk menganut Katolik Roma. Popularitas
Kepler sebagai ilmuwan setidaknya telah menjadi penolong. Walaupun demikian, Kepler
kerap dibujuk untuk pindah agama dengan dalih “mengajak kembali ke jalan yang
lurus”. Bagi Kepler, intoleransi keagamaan sangat memuakkan, di mana melalui
sains ia yakin bahwa keharmonisan dan tersusunnya notasi musik di antara
planet-planet seharusnya berlaku juga keharmonisan di tengah-tengah umat
manusia. Sekalipun demikian, ia tetap berpegang pada keyakinannya dan rela
menderita. Berikut kutipan dari ungkapan keluh kesahnya yang dinukil dari Ernst
Zinner:
“Suffering
along with many brothers for the sake of religion and for the glory of Christ
by enduring harm and disgrace, by leaving one’s house, fields, friends, and
home—I would never have believed all of this could be so agreeable,”
Begitulah seseorang yang memegang iman berdasarkan
kepercayaan aksiomatis, bukan dengan keimanan dogmatis. Ia tangguh menghadapi
bahaya, teror, pengusiran dari kampung halaman, bahkan kehilangan harta-benda.
Namun, harta benda sejati baginya adalah ilmu dan pengetahuan yang
memberikannya harta berupa esensi “rahasia-semesta”. Karya-karyanya dianggap
membawa kesesatan dan dicap stigma hitam. Meskipun begitu, kurang lebih 70
tahun kemudian uraian hukum-hukum Kepler tersebut kelak dianggap sebagai dasar
bagi Isaac Newton (1643—1727) dalam mengembangkan teori Gerak dan Gravitasi Universalnya
yang terkenal itu.
Epilog
Sebagai catatan terakhir, untuk menghayati dan meresapi
musik, seseorang tidaklah dituntut untuk memahami teori musik terlebih dahulu. Sebab,
keindahan suatu musik bersifat aktual karena adanya gerak dan aksi yang terpadu
dengan harmoni, nada-nada, dan unsur-unsur lainnya. Di samping itu, musik akan merasuki
jiwa dan meninggalkan kesan sehingga menciptakan emosi batin. Maka, tak dapat
dimungkiri mengapa sebagian banyak orang sangat mencintai dan menggemari seni
musik. Sebab, musik itu sendiri merupakan manifestasi dari sifat keindahan. Dan
kekaguman terhadap keindahan merupakan fitrah bawaan yang dimiliki setiap
manusia.
Relasi antara musik dan sains mengalami perkembangan di
Barat (Pasca-Renaissance), sehingga melahirkan musisi kaliber Mozart,
Beethoven, Vivaldi, Bach, Wagner, dan Chopin. Sedangkan relasi antara musik,
alam, dan manusia yaitu sama-sama berpotensi untuk membangun harmoni,
sebagaimana harmoninya susunan planet-planet: tidak bertabrakan, tidak
berbenturan, tidak saling merusak, tidak jelimpat jalur, dan tidak menimbulkan
kekacauan (chaos). Maka, sudah seyogyanya kita mengisi zaman dengan
estetika, sehingga kita mampu melihat sisi keindahan dari setiap perbedaan.
Terakhir, sebagai manifestasi keindahan, berikut ini saya
kutip sebuah syair pribadi yang mungkin representatif untuk pembahasan ini:
ANOMALI
Di
padang bulan mereka terlunta mencari cahaya
dan masih menduga bumilah pusat semesta
barangkali ada yang menemukan lintasan lain
digetar medan magnet dari langit bertanda asing
namun, katanya, ucapan ilmuwan bagai air liur keluar
menghambur
yang telah mendustakan Kitab Suci dan ayat-ayat Mazmur
Tapi sains dimulai tatkala bintang-bintang telah
menanggalkan baju
dan Alpha Centauri menyumbat ventilasi lorong waktu
saat itu planet Jupiter melantunkan irama musik kudus
yang membelai dan membisik rindu pada Copernicus
di antara malam buta ia baca gerak planet yang anggun
ronanya membuat mata batin tersihir dan tertegun
perlahan segala macam asteroid telah terangkum
hingga Tyco Brahe mendengkur di observatorium
di sana ada suara benda-benda bergesekan menimbulkan
echo
seperti riuh orang-orang di pengadilan Galileo
Semula kain hitam menghijab seluruh pancaindera
orang-orang dipaksa hidup bertualang di lembah gulita
sambil mendamba cahaya demi mencecap buaian manis
tentang surga
dan firman yang diobral para pendusta, hanya memuat
cahaya redup sia-sia.
Padahal, Adam pun telah dibina sejak diciptakan kali
pertama
jauh sebelum ia dan istrinya memasuki ladang kebun tak
bernama:
mahir mengurai segala rahasia di jagat bumi
walau setitik atom sembunyi di bawah hamparan permadani
andai dapat kuhimpun belantara ilmunya yang rimbun
rongga dada yang daif ini takkan pernah sanggup
menampung
Di zaman yang diliputi malam berkepanjangan,
dibutuhkan pelita kata yang berpijar terang
agar sains dapat menerjemahkan simbol yang masih remang
mungkin pelita itu akan menjadi seorang santo
yang membebaskan para arif dari guanya Plato
setelah lama dikutuk dan terbelenggu dijajah waktu
dirantai dongeng-dongeng dan mitos purba dari zaman batu
selebihnya akan kupupuk fitrah ilmu yang murni
demi menyemai erang bunga musim semi
(23—24 April 2015)
Bandung, 10 Mei 2016
Daftar Rujukan
Black, Jonathan. 2015. Sejarah Dunia yang
Disembunyikan (The Secret History of the World), terj: Isma B. Soekato
dan Adi Toha. Tangerang: Pustaka Alvabet.
Coelho, Victor. 1992. Music and Science in the Age of
Galileo. London: Kluwer Academic Publishers.
Field, J.V. 1984. “A Lutheran Astrologer: Johannes
Keppler”, Archive for History of Exact Sciences, Vol. 31 No. 3: h.
207—219.
Godwin, Joscelyn. 2007. “Kepler and Kircher on the
Harmony of the Spheres”. Hermetic Library: http://www/hermetic.com.
Magee, Bryan. 2008. The Story of Philosophy.
Yogyakarta: Kanisius.
Masruri, Hadi. 2005. Ibn Thufail: Jalan Pencerahan
Mencari Tuhan. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara.
Keppleri, Ioannis. 1619 (Anno M. DC. XIX).
Harmonices Mvndi: Libri V. Qvorvm. Lincii Austriae: Sumptibus Godofredi
Tampachii Bibl. Francof. Excudebat Ioannes Plancvs.
Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni.
Bandung: Penerbit ITB.
www.drbo.org.
Latin Vulgate (Clementine): Book of Genesis, diakses 11 Mei 2016.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam: Filosof dan
Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.